Shalat Tarawih 11 Raka’at adalah Bid’ah ?

Membuka media sosial kadang menjadi hiburan tersendiri jika yang terbaca isinya bermutu, informatif, atau (bahkan) lucu. Tapi tak jarang, membacanya malah bikin kesal karena yang lewat di Beranda kontent fitnah, syubuhat, dan ngaco. Termasuk yang ada di judul artikel ini. Entah ilmu terawangan darimana bisa-bisanya ada yang mengatakan shalat tarawih 11 raka’at itu bid’ah. Hadits ‘Aaisyah yang menjelaskan shalat tarawih 11 raka’at itu dikatakan shalat witir, bukan shalat tarawih. Sekarang, masalah ini lagi menghangat di satu wilayah di Provinsi NAD. Kemarin malah lewat rekaman talkshowyang tak kalah lucu dari dai ‘Holsten’. Katanya Nabi tidak pernah shalat tarawih kecuali hanya 3 malam saja. Hadits riwayat ‘Aaisyah 11 raka’at katanya, bukan dalil shalat tarawih, akan tetapi shalat tahajjud. “Salahnya adalah salah banget“, igaunya. Ngabodor yeuh….

Riwayat ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa yang dipermasalahkan itu sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: ” كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي رَمَضَانَ؟ فَقَالَتْ: مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ، قَالَ: يَا عَائِشَةُ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي “
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Maalik, dari Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan, bahwasannya ia pernah bertanya kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Bagaimana shalat Rasulullah pada bulan Ramadlaan ?”. ‘Aaisyah menjawab : “Rasulullah tidak pernah shalat di bulan Ramadlan maupun di bulan selainnya, lebih dari 11 raka’at. Beliau shalat 4 raka’at, jangan engkau menanyakan bagus dan panjangnya. Setelah itu shalat 4 raka’at dan jangan engkau menanyakan bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 raka’at” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2013 dan Muslim no. 738].
Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullah memasukkan hadits ‘Aaisyah di atas dalam Al-Jaami’ush-Shahiih (2/61) pada kitab Shalaatut-Taraawiih, terletak persis setelah hadits yang menjelaskan perbuatan Nabi shalat tarawih berjama’ah dengan para shahabat selama 3 malam.[1]
Ini menunjukkan fiqh imam Al-Bukhaariy bahwa 11 raka’at merupakan bagian dari syari’at shalat tarawih di bulan Ramadlaan.
Selain itu, beliau (Al-Bukhaariy) rahimahullah juga meletakkannya dalam bab:
باب قِيَامِ النبي ﷺ بِاللَّيْلِ فِى رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ
Baab : Qiyaamin-Nabiy bil-Laili fii Ramadlaan wa Ghairih (Shalat Malam Nabi pada Bulan Ramadlaan dan Selainnya)” [Al-Jaami’ush-Shahiih, 1/356].
Meski Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah berpendapat shalat taraawih boleh lebih dari 11 raka’at, namun beliau memasukkan atsar ini:
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ
Dari As-Saaib bin Yaziid, bahwasannya ia berkata : ‘Umar bin Al-Khaththahab pernah memerintahkan Ubay bin Ka’b dan Tamiim Ad-Daariy mengimami orang-orang (shalat taraawih) dengan sebelas rakaat”. As-Saaib berkata : “Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar”
dalam kitab Al-Muwaththaa’ pada Bab : Maa Jaa-a fii Qiyaamir-Ramadlaan. Tepatnya di juz 1 halaman 478 nomor hadits 271 (tahqiq dan takhrij : Saliim bin ‘Ied Al-Hilaaliy). Kalau nanti ada yang bilang : “Loh, itu kan qiyaamur-ramadlaan, bukan shalat tarawih ?”.
Heloo,… Qiyaamur-ramadlaan itu ya masuk padanya shalat tarawih. Bukankah hadits :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) di bulan Ramadlan dengan keimanan dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 37 & 2009 dan Muslim no. 759]
sebagai dalil keutamaan melaksanakan shalat tarawih pada bulan Ramadlaan ?. Dalam kitab Shahiih Muslim disebutkan bab:
بَاب التَّرْغِيبِ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ وَهُوَ التَّرَاوِيحُ
“Bab Targhiib dalam Qiyaamir-Ramadlaan, yaitu Taraawiih”
Ibnul-Hummaam (Kamaaluddiin bin ‘Abdil-Waahid) Al-Hanafiy rahimahullah berkata:
وَجَمَعَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّهُ وَقَعَ أَوَّلًا ثُمَّ اسْتَقَرَّ الْأَمْرُ عَلَى الْعِشْرِينَ فَإِنَّهُ الْمُتَوَارِثُ ، فَتَحْصُلُ مِنْ هَذَا كُلِّهِ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ سُنَّةٌ إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ فِي جَمَاعَةٍ فَعَلَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تَرَكَهُ لِعُذْرٍ ، ….، وَكَوْنُهَا عِشْرِينَ سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ } نَدْبٌ إلَى سُنَّتِهِمْ ، وَلَا يَسْتَلْزِمُ كَوْنَ ذَلِكَ سُنَّتَهُ
“Penjamakan antara keduanya[2], bahwasannya shalat )tarawih( 11 raka’at itu terjadi pada awalnya, kemudian menjadi ketetapan dengan 20 raka’at dan terwarisi hingga sekarang. Maka kesimpulannya dari semua ini bahwasannya qiyaamur-Ramadlaan adalah sunnah dengan 11 raka’at secara berjama’ah, dimana itu dilakukan oleh Nabi lalu beliau tinggalkan karena satu alasan….. Adapun qiyaamur-Ramadlaan dengan 20 raka’at merupakan sunnah Al-Khulafaaur-Raasyidiin. Dan sabda beliau : ‘Wajib bagi kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah al-khulaafur-raasyidiin’ adalah anjuran untuk berpegang kepada sunnah mereka (al-khulafaaur-raasyidiin), dan itu tidak melazimkan hal tersebut merupakan sunnah beliau ” [Fathul-Qadiir, 2/448].
Abul-Hasan ‘Aliy Al-‘Adawiy Al-Maalikiy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya:
وَعَنْهُ الَّذِي يَأْخُذُ بِنَفْسِي فِي ذَلِكَ الَّذِي جَمَعَ عَلَيْهِ عُمَرُ النَّاسَ إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْهَا الْوَتْرُ وَهِيَ صَلَاةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( وَكُلُّ ذَلِكَ ) أَيْ الْقِيَامِ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً أَوْ بِسِتٍّ وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً ( وَاسِعٌ ) أَيْ جَائِزٌ
“Dan ternukil darinya (Maalik)[3], ia berkata : Adapun yang aku ambil untuk diriku dalam permasalan tersebut adalah shalat (qiyaamur-ramadlaan/tarawih) yang ‘Umar mengumpulkan orang-orang sebanyak 11 raka’at, termasuk padanya shalat witir. Itulah shalat yang dilakukan Nabi . (Dan semua itu), maksudnya : shalat 20 raka’at atau 36 raka’at. (Luas), yaitu diperbolehkan” [Haasyiyyah Al-‘Adawiy ‘alaa Syarh Kifaayatith-Thaalib, 3/440 – Bab : Qiyaamir-Ramadlaan].
Al-Muzanniy rahimahullah berkata:
قلت أنا في كتاب اختلاف و مالك قلت للشافعي : أيجوز أن يوتر بواحدة ليس قبلها شيء قال : نعم والذي أختاره ما فعل رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة يوتر منها بواحدة والحجة في الوتر بواحدة السنة والاثار روي [ عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه قال : صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة توتر له ما قد صلى ] وعن عائشة [ أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة يوتر منها بواحدة ]
“Aku berkata dalam kitab Ikhtilaafu (Asy-Syaafi’iy) wa Maalik, aku katakan kepada Asy-Syaafi’iy : ‘Apakah boleh melakukan witir 1 raka’at saja tanpa ada shalat yang dilakukan sebelumnya?’. Ia (Asy-Syaafi’iy) menjawab : ‘Boleh. Dan yang aku pilih adalah apa yang dilakukan Rasulullah . Beliau shalat sebanyak 11 raka’at dan berwitir padanya 1 raka’at. Hujjah shalat witir 1 raka’at adalah sunnah dan atsar. Diriwayatkan dari Rasulullah , beliau bersabda : ‘Shalat malam 2 raka’at 2 raka’at. Apabila salah seorang di antara kalian khawatir tiba waktu Shubuh, shalatlah 1 raka’at sebagai witir baginya untuk shalat yang ia lakukan sebelumnya’. Dan dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Rasulullah shalat 11 raka’at dengan witir darinya 1 raka’at” [Mukhtashaar Al-Muzanniy, hal. 35].
Penjelasan Al-Muzanniy dan Asy-Syaafi’iy rahimahullah ini menunjukkan bahwa 11 raka’at itu bukan hanya witir saja, akan tetapi shalat tarawih/lail yang padanya witir 1 raka’at.
As-Suyuuthiy rahimahullah berkata:
وقال الجوري من أصحابنا : عن مالك أنه قال : الذي جمع عليه الناس عمر بن الخطاب أحب إلي ، وهو إحدى عشرة ركعة ، وهي صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قيل له : إحدى عشرة ركعة بالوتر ؟ قال : نعم وثلاث عشرة قريب ، قال : ولا أدري من أين أحدث هذا الركوع الكثير
“Telah berkata Al-Juuriy dari kalangan ulama Syaafi’iyyah, dari Maalik, ia berkata : Shalat yang ‘Umar mengumpulkan manusia padanya lebih aku sukai, yaitu sebanyak 11 raka’at. Itulah shalat Rasulullah . Dikatakan kepadanya : ’11 raka’at dengan shalat witir?’. Ia menjawab : ‘Ya benar. 13 raka’at pun juga benar’. Ia melanjutkan : ‘Aku tidak tahu darimana asalnya rukuk dalam jumlah banyak ini dilakukan” [Al-Mashaabih fii Shalaatit-Taraawiih, hal. 32 atau dalam Al-Haawiy lil-Fataawaa].
Walhasil,kumpulan perkataan para ulama di atas memberikan penjelasan kepada kita bahwa hadits ‘Aaisyah 11 raka’at terpakai untuk shalat tarawih yang includedi dalamnya shalat witir.
Hadits ‘Aaisyah tersebut di atas juga menunjukkan bahwa sifat shalat Nabi pada waktu Ramadlaan dan selainnya adalah secara umum sama dalam hal jumlah raka’at dan teknis pelaksanaannya.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وفي هذا الحديث البيان بأن صلاة رسول الله صلى الله عليه و سلم في رمضان وغيره كانت سواء
“Dan dalam haditrs ini terdapat penjelasan bahwa shalat Rasulullah pada bulan Ramadlaan dan selainnya adalah sama” [Al-Istidzkaar, 2/98].
Abul-Waliid Al-Baajiy rahimahullah (w. 474 H) berkata:
وَإِنَّمَا قَصَرَ السُّؤَالَ عَلَى رَمَضَانَ لِمَا رَأَى مِنْ الْحَضِّ عَلَى صَلَاةِ رَمَضَانَ فَظُنَّ لِذَلِكَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَخُصُّهُ بِصَلَاةٍ فَأَخْبَرَتْهُ عَائِشَةُ أَنَّ فِعْلَهُ كَانَ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ سَوَاءٌ
“Penanya hanya membatasi pertanyaan pada bulan Ramadlaan saja karena ia melihat kekhususan shalat di bulan Ramadlaan sehingga dirinya menyangka dengannya Nabi mengkhususkannya dengan shalat tertentu (jumlah raka’at dan sifatnya). Maka ‘Aaisyah memberitahukan kepadanya bahwa perbuatan (shalat) beliau di bulan Ramadlaan dan selainnya adalah sama” [Al-Muntaqaa, 1/277].
Al-Mubaarakfuuriy rahimahullah berkata:
فَهَذَا الْحَدِيثُ الصَّحِيحُ نَصٌّ صَرِيحٌ فِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Maka hadits shahih ini merupakan nash yang jelas bahwa Rasulullah tidak menambahkan pada bulan Ramadlaan dan selainnya lebih dari sebelas raka’at” [Tuhfatul-Ahwadziy, 2/349].
Adapun shalat tarawih Nabi selama tiga malam bukan menunjukkan setelah itu beliau libur. Tidak ada kalender akademik libur shalat tarawih. Hadits itu hanya menunjukkan bahwa beliau tidak shalat tarawih berjama’ah bersama para shahabat kecuali hanya 3 malam saja; dan setelah itu beliau tetap shalat tarawih di rumahnya.
Kesimpulannya : Shalat tarawih (bisa) dilakukan 11 raka’at yang masuk di dalamnya shalat witir.[4]Bukan bid’ah – dan memang tidak ada seorang pun ulama yang mengatakan bid’ah kecuali ‘ulama’ Nusantara – sepengetahuan saya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – rnn – 21 Ramadlan 1439].


[1]    Haditsnya adalah:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ، أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ، ” أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا، فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ، عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ، أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ، ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا، فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ “
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Bukair : Telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari ‘Uqail, dari Ibnu Syihaab : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah : Bahwasannya ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa mengkhabarkan kepadanya : Pada suatu malam, Rasulullah keluar menuju masjid untuk mengerjakan shalat, lalu orang-orang pun shalat (bermakmum) bersama beliau . Pada waktu paginya, orang-orang membicarakan kejadian tersebut sehingga pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan Beliau. Pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah keluar untuk shalat dan mereka ikut shalat bermakmum bersama beliau . Pada malam keempat, masjid sudah penuh dengan jama’ah, tetapi akhirnya beliau keluar hanya untuk mengerjakan shalat Shubuh saja. Setelah selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang-orang, membaca syahadat lalu bersabda : “Amma, ba’du, sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah – Abul-Jauzaa’), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya”. Kemudian Rasulullah wafat dan perkaranya masih tetap seperti itu (yaitu tidak dilakukan shalat tarawih secara berjama’ah – Abul-Jauzaa’) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2012].
Jika hadits ini diakui sebagai dalil pensyari’atan shalat tarawih, bukankah konsekuensinya hadits ‘Aaisyah 11 raka’at yang terletak satu kitab dengannya (yaitu Kitaabu Shalaatit-Taraawiih) dalam Al-Jaam’iush-Shahiih juga sebagai dalil shalat tarawih ?.
[2]    Yaitu riwayat shalat tarawih di zaman ‘Umar bin Al-Khaththaab 11 raka’at (dengan witir) dan 20 raka’at (tanpa witir).
[3]    Yaitu selain dari kitab Al-Mudawwanah.
[4]    Witir dapat dilakukan 3 raka’at terakhir.
Ibnu Baththaal rahimahullah menjelaskan:
أن الوتر منها الركعة الأخيرة مع ركعتين تقدمتها، قالوا: ويدل على صحة حديث عائشة أن الرسول كان لا يزيد فى رمضان ولا غيره على إحدى عشرة ركعة، يصلى أربعًا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن، ثم يصلى أربعًا كذلك، ثم يصلى ثلاثًا فدل أن الوتر ثلاث.
“Bahwasannya witir pada shalat malam 1 raka’at terakhir dan dua raka’at sebelumnya (sehingga jumlahnya 3 raka’at – Abul-Jauzaa’). Mereka katakan : ‘Dan yang menunjukkan kebenarannya adalah hadits ‘Aaisyah bahwasannya Rasulullah tidak pernah shalat di bulan Ramadlan maupun di bulan selainnya, lebih dari sebelas raka’at. Beliau shalat 4 raka’at, jangan engkau menanyakan bagus dan panjangnya. Setelah itu shalat 4 raka’at juga seperti itu. Kemudian beliau shalat 3 raka’at. Maka ini menunjukkan shalat witir 3 raka’at” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy, 4/201].
Atau dilakukan 1 raka’at saja berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يُصَلِّي بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ، فَإِذَا فَرَغَ مِنْهَا، اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الأَيْمَنِ، حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ، فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ “
Dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Rasulullah shalat malam 11 raka;at dengan witir padanya 1 raka’at. Apabila telah shalat, maka beliau berbaring ke kanan, hingga tiba muadzdzin (mengumandangkan adzan). Lalu beliau shalat dua raka’at ringan [Diriwayatkan oleh Muslim no. 736].

Baca selengkapnya