Sekilas Tentang Kecerdasan Anak-Anak

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai anak-anak. Buktinya Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu adalah bayi yang lahir sesaat setelah Asma’ bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq tiba di bumi hijrah Madinah. Dia segera dibawa ke hadapan beliau, kemudian dipangkunya. Dengan sangat bahagia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mentahniknya dengan kurma. Kisah tentang pentahnikannya telah disebutkan di dalam hadits riwayat Al-Bukhari rahimahullah.

Selanjutnya, tumbuhlah Abdullah bin Az-Zubair sebagai seorang anak yang sangat cerdas, dan Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan bahwa walaupun ia adalah tergolong sahabat yunior, namun ia memiliki prestasi besar dalam ilmu, jihad dan ibadah.

Begitu pula kisah Abdullah bin Umar yang disebutkan dalam HR. Al-Bukhari bahwa ketika ia berusia 14 tahun, dihadapkanlah ia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diizinkan untuk mengikuti perang Uhud, namun ternyata sosok remaja tersebut tidak diizinkan ikut berjihad karena usianya yang masih belia itu. Subhanallah! Mereka adalah anak-anak yang sangat antusias dalam menjalankan perintah Allah ‘Azza wa Jalla .

Kisah menarik lagi, yaitu tatkala Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu melintasi Ibnu Az-Zubair ketika itu ia masih kanak-kanak, saat sedang bermain bersama anak-anak lainnya, anak-anak lari. Sedangkan Ibnu Az-Zubair berdiri di tempat. Umar bertanya kepadanya, “Kenapa kamu tidak ikut lari bersama teman-temanmu?”. Ibnu Zubair menjawab,” Wahai Amirul Mukminin aku tidak berbuat dosa kenapa aku takut dan jalan ini tidaklah sempit hingga aku perlu melapangkannya untukmu.” Allah Akbar! Betapa anak itu sangat cerdas dalam berdialog dengan orang dewasa. Dia sangat percaya diri, pemberani dan ksatria.

Ada lagi kisah mengagumkan dari kehidupan Ibnu Az-Zubair ketika ia masih kanak-kanak, suatu hari ia bermain bersama anak-anak lainnya, lalu lewatlah seorang lelaki yang lantas meneriaki mereka, maka anak-anak itupun lari sedangkan Ibnu Az-Zubair berjalan mundur ke belakang dan berkata, “Hai teman-teman angkatlah aku sebagai pemimpin kalian dan dukunglah aku untuk menghadapi orang ini!”

Selayaknya orang dewasa tidaklah meremehkan orang yang lebih muda dengan mengatakan “Ah, mereka hanya anak-anak yang masih kurang akal!”
Bukankah terkadang orang yang lebih tua perlu banyak belajar dari sosok yang bernama anak-anak? Allah ‘Azza wa Jalla telah menganugerahkan fitrah yang suci, lurus, polos dan hal-hal lain yang mampu menjadikan seorang anak begitu istimewa, bahkan tak jarang membuat kagum serta mengalahkan orang-orang dewasa dalam hal kecerdasan otak, kebersihan hati dan juga kecerdasaan pikiran.

Seorang ahli nahwu (gramatika Arab) berkata kepada anaknya, “Jika kamu hendak mengungkapkan sesuatu maka pergunakan akalmu, pikirkanlah dengan sungguh-sungguh terlebih dahulu sehingga kamu merangkai kalimat dengan baik dan benar”.
Suatu ketika keduanya sedang duduk-duduk pada musim dingin sambil menyalakan api. Tiba-tiba ada percikan api yang mengenai jubah sang ayah. Sang ayah tidak menyadari hal tersebut, sedangkan si anak melihatnya. Si anak terdiam sesaat sambil berpikir. Kemudian dia berkata, “Ayah, saya ingin meyampaikan sesuatu kepadamu, apakah engkau mengizinkan? ”. Sang ayah menjawab, “Jika sesuatu yang benar ucapkanlah”
“Saya yakin benar”, jawab si anak. Ayahnya berkata lagi, “Ya sudah katakan saja!” “Sungguh saya melihat merah-merah di jubah ayah”. Kontan sang ayah melihat jubahnya, ternyata sebagian besar jubahnya telah terbakar!
Dia berkata kepada anaknya, “Mengapa kamu tidak segera memberitahukan kepadaku?” Si anak menjawab , “Saya pikirkan dulu sebagaimana perintah Ayah! Kemudian saya menyusun kalimat yang benar, baru saya ucapkan”. Lalu sang ayah membentaknya dengan berkata, “Jangan berbicara dengan mengikuti kaidah nahwu untuk selamanya!”

Itulah dialog unik antara ayah dengan anaknya yang tentunya membuat orang tersenyum lantaran kepolosan sang anak. Seorang putra Ar Rasyid yang masih berumur empat tahun diperintah menemui beliau. Kemudian Ar Rasyid bertanya kepadanya, “Apa yang kamu suka untuk aku berikan kepadamu?”, sang putra menjawab, “Kebagusan pikiranmu”.

*****

Referensi :
Al-Adzkiya ( terjemah) Ibnul Jauzi, Buana Ilmu Islami, Banyumas 1434 H. Cet I.
Hiburan orang-orang shalih, Muhammad Amin Al-Jundi, Pustaka Arofah, Solo 2011, cet. I.
Sirah Sahabat, Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka Haura’, Yogyakarta, November 2012 cet.I.

 

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifah

Murojaah: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah

Artikel muslimah.or.id

Baca selengkapnya