Menikahi Janda Kaya Mensyaratkan tidak Dinafkahi

Mensyaratkan tidak Dinafkahi

Jika ada janda kaya yang hendak dinikahi seorang lelaki, lalu ada kesepakatan, janda ini tidak perlu diberi nafkah karena sdh kaya, apakah akad nikahnya sah?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ada dua hal yang perlu kita bedakan dalam kasus ini,

[1] Akad

[2] Syarat/kesepakatan akad

Selama akad itu dilakukan dengan memenuhi semua rukun dan syaratnya maka akad itu dinilai sah, meskipun bisa jadi mengandung kesepakatan yang bathil.

Yang bermasalah dari kasus di atas adalah bagian kesepakatan dalam akad, bukan akadnya. Karena kesepakatan yang dilakukan, bertentangan dengan konsekuensi akad atau mengandung unsur kedzaliman atau menggugurkan hak orang lain.

Al-Buhuti mengatakan,

فصل (وإن شرط أن لا مهر لها أو أن لا نفقة) لها، (أو شرط أن يقسم لها أقل من ضرتها أو أكثر) منها، (أو شرط فيه) أي: في النكاح (خيارًا ….. بطل الشرط لمنافاته مقتضى العقد، وتضمنه إسقاط حق يجب به قبل انعقاده. (وصح النكاح) لأن هذه الشروط تعود إلى معنى زائد في العقد

Pasal: ketika calon suami mensyaratkan, tidak ada mahar dan nafkah untuk calon istri, atau dia mensyaratkan nanti istri kedua mendapatkan jatah gilir lebih sedikit atau lebih banyak dibandingkan istri pertama, atau mensyaratkan, setelah akad nikah ada hak khiyar (memilih antara melanjutkan atau tidak) … maka syarat semacam ini bathil, karena bertentangan dengan konsekuensi akad. Dan mengandung unsur menggugurkan hak, yang wajib ditunaikan. Meskipun pernikahan sah. karena kesepakatan ini bentuknya adalah tambahan akad. (ar-Raudhul Murbi’, 1/341-342).

Beberapa contoh kesepakatan dalam pernikahan seperti yang disebutkan al-Buhuti adalah contoh kesepakatan yang bathil. Meskipun ini tidak mempengaruhi keabsahan akad.

Karena kesepakatan ini bathil, maka hak mahar atau hak nafkah harus tetap ada. Demikian pula jatah gilir, harus diberikan yang sama dengan madunya. Meskipun sang istri boleh menggugurkan sebagian haknya.

Dulu, ibunda Saudah bintu Zam’ah radhiyallahu ‘anha merelakan haknya dan diberikan ke Aisyah radhiyallahu ‘anha, agar Saudah tetap menjadi istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau meninggal dunia.

Dalam Syarh al-Iqna’ dinyatakan,

وللمرأة أن تهب حقها من القسم في جميع الزمان، وفي بعضه لبعض ضرائرها بإذنه

Bagi si wanita, dia berhak menghibahkan haknya seperti jatah gilir pada semua waktunya atau sebagian waktunya untuk madunya dengan izin suaminya. (al-Iqna’, 3/248).

Kemudian penulis menyebutkan hadis Saudah bintu Zam’ah radhiyallahu ‘anha.

Sehingga, semua hak itu merupakan hak istri, meskipun dia boleh menggugurkannya. Dan jika dia sudah merelakannya maka suami tidak berdosa.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
Download Sekarang !!

Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

  • REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
  • KONFIRMASI DONASI hubungi: 087-738-394-989

Baca selengkapnya