Mengkritisi Fatwa Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan terkait Penghinaan kepada Nabi (?)

Pernah ditanyakan kepada Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah:

هل يجوز اغتيال الرسام الكافر الذي عرف بوضع الرسوم المسيئة للنبي صلى الله عليه وسلم؟

“Apakah diperbolehkan pembunuhan terhadap kartunis kafir yang diketahui telah membuat gambar penghinaan terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”.

Beliau hafidhahullah menjawab:

هذا ليس طريقة سليمة الاغتيالات وهذه تزيدهم شرا وغيظا على المسلمين لكن الذي يدحرهم هو رد شبهاتهم وبيان مخازيهم وأما النصرة باليد والسلاح هذه للولي أمر المسلمين وبالجهاد في سبيل الله عز وجل نعم

“Perbuatan ini bukan jalan yang benar, yaitu melakukan pembunuhan. Perbuatan ini justru menambah kejelekan dan kemarahan (orang-orang kafir) terhadap kaum muslimin. Akan tetapi jalan untuk menolak mereka adalah dengan membantah syubhat-syubhat mereka dan menjelaskan perbuatan hina mereka tersebut. Adapun melakukan pembelaan dengan tangan dan pedang, maka ini merupakan hak ulil-amri kaum muslimin melalui jihad di jalan Allah ‘azza wa jalla. Na’am” [sumber : http://www.alfawzan.af.org.sa/node/1960].

Saat fatwa beliau hafidhahullah di atas dibawakan terkait peristiwa pembunuhan staf Media Charlie Hebdo yang telah membuat karikatur penghinaan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ada yang mengatakan bahwa fatwa tersebut keliru karena menyelisihi ijmaa’ kaum muslimin yang mengharuskan membunuh orang yang menghina Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Abul-Jauzaa’ – semoga Allah memaafkannya – berkata:

Diantaranya nukilan ijmaa’ terkait hukum penghinaan terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah seperti yang dikatakan Ishaaq bin Rahawaih rahimahumallah:

أجمع المسلمون على أن من سبَّ الله ، أو سبَّ رسولَه صلى الله عليه وسلم ، أو دفع شيئاً مما أنزل الله عزَّ وجلَّ ، أو قتل نبيَّاً من أنبياء الله، أَنَّه كافر بذلك وإِنْ كان مُقِرَّاً بكلِّ ما أنزل الله

“Kaum muslimin bersepakat bahwa orang yang mencaci Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, atau menolak sesuatu dari yang diturunkan Allah ‘azza wa jalla, atau membunuh nabi dari nabi-nabi Allah; maka ia kafir dengan sebab itu, meskipun ia mengakui semua (syari’at) yang diturunkan Allah” [Ash-Shaarimul-Masluul oleh Ibnu Taimiyyah, 2/15. Juga dalam Al-Istidzkaar oleh Ibnu ‘Abdil-Barr, 4/226].

Juga dari Muhammad bin Suhnuun Al-Maalikiy rahimahullah:

أجمع العلماء أَنَّ شاتمَ النبيِّ صلى الله عليه وسلم لمتنقِّصَ له كافرٌ ، والوعيدُ جارٍ عليه بعذاب الله له، وحكمه عند الأمَّة : القتل ، ومن شكَّ في كفرِه وعذابِه كفَر

“Para ulama bersepakat bahwa orang yang mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk merendahkan beliau adalah kafir. Dan ancamannya adalah adzab Allah, hukumnya di sisi umat adalah dibunuh. Barangsiapa yang ragu akan kekafirannya dan adzabnya (kelak di akhirat), maka kafir” [Asy-Syifaa’ oleh Al-Qaadliy ‘Iyaadl, 2/312].

Ijmaa’ ini hanyalah berkaitan dengan seorang muslim yang melakukan penghinaan terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun orang kafir, maka para ulama berbeda pendapat.

Al-Mundziriy rahimahullah berkata setelah menyebutkan ijma’ wajib dihukum bunuh bagi muslim yang mencela/mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِنَّمَا الْخِلَاف إِذَا كَانَ ذِمِّيًّا ، فَقَالَ الشَّافِعِيّ يُقْتَل وَتَبْرَأ مِنْهُ الذِّمَّة ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَة لَا يُقْتَل مَا هُمْ عَلَيْهِ مِنْ الشِّرْك أَعْظَم ، وَقَالَ مَالِك مَنْ شَتَمَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْيَهُود وَالنَّصَارَى قُتِلَ إِلَّا أَنْ يُسْلِم

“Perbedaan pendapat yang ada hanyalah jika orang yang mencela itu berstatus dzimmiy. Asy-Syaafi’iy berpendapat pelakunya dibunuh dan lepas darinya jaminan (dengan sebab perbuatannya tersebut). Abu Haniifah berpendapat pelakunya tidak dibunuh, karena kesyirikan yang ada padanya lebih besar. Maalik berkata : Barangsiapa yang mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Yahudi dan Nashara, maka dibunuh kecuali jika kemudian ia masuk Islam” [‘Aunul-Ma’buud, 9/394].

Jika disebut dzimmiy, artinya, orang kafir tersebut tinggal di wilayah negeri Islam yang tunduk pada hukum-hukum Islam yang berlaku di dalamnya.

Perlu kita garis bawahai, para pelaku penghinaan terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini tinggal di negeri Perancis, negeri kafir. Negeri yang tidak menerapkan hukum-hukum Islam.

Siapakah yang akan menegakkan hadd bunuh terhadap mereka (orang kafir), sementara mereka tidak tunduk di bawah hukum Islam, negeri mereka tidak di bawah kendali pemerintahan negeri Islam, dan status mereka bukan kafir dzimiiy ?. Selain itu, jika kita berbicara hadd, tentu saja hal tersebut mesti dilakukan ulil-amri yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menegakkannya.

Apakah kaum muslimin – Perancis pada khususnya atau Eropa pada umumnya – boleh melakukan hukum bunuh terhadap setiap orang kafir yang melakukan penghinaan terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan kondisi mereka minoritas, tidak mempunyai kekuatan memadai, serta sangat rawan mendapat tekanan dan intimidasi ?.

Dulu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sering dihina dan dicaci maki orang-orang kafir karena mendakwahkan Islam kepada mereka. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah disebut sebagai penyair gila sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala:

وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ

Dan mereka berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?’ [QS. Ash-Shaaffaat : 37].

Disebut penyihir:

كَذَلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ

Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila” [QS. Adz-Dzaariyaat : 52].

Disebut pendusta:

وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ

Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: “Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta” [QS. Ash-Shaad : 4].

Disebut plagiator kitab suci:

وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُمْ هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ * أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang menjelaskan, berkatalah orang-orang yang mengingkari kebenaran ketika kebenaran itu datang kepada mereka: “Ini adalah sihir yang nyata”. Bahkan mereka mengatakan: “Dia (Muhammad) telah mengada-adakannya (Al Qur’an)” [QS. Al-Ahqaaf : 7-8].

Bahkan intimidasi secara fisik saat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdakwah ke Bani Tsaaqif di Thaaif.

Semua hinaan, cacian, dan intimidasi fisik beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam terima di awal dakwah saat Islam baru mulai berkembang. Waktu itu, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membalasnya, memerintahkan shahabatnya untuk membalasnya, atau memeranginya; padahal penghinaan kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan sesuatu yang sangat besar dalam Islam. Mengapa ?. Ibnu Katsiir rahimahullah menjawabnya:

كان المؤمنون في ابتداء الإسلام وهم بمكة مأمورين بالصلاة والزكاة, وإن لم تكن ذات النصب, وكانوا مأمورين بمواساة الفقراء منهم وكانوا مأمورين بالصفح والعفو عن المشركين والصبر إلى حين, وكانوا يتحرقون ويودون لو أمروا بالقتال ليشتفوا من أعدائهم ولم يكن الحال إذ ذاك مناسباً لأسباب كثيرة منها: قلة عددهم بالنسبة إلى كثرة عدد عدوهم, ومنها: كونهم كانوا في بلدهم, وهو بلد حرام, أشرف بقاع الأرض, فلم يكن الأمر بالقتال فيه ابتداء كما يقال, فلهذا لم يؤمر بالجهاد إلا بالمدينة لما صارت لهم دار ومنعة وأنصار, ومع هذا لما أمروا بما كانوا يودونه, جزع بعضهم منه, وخافوا مواجهة الناس خوفاً شديداً {وقالوا ربنا لم كتبت علينا القتال لولا أخرتنا إلى أجل قريب} أي لولا أخرت فرضه إلى مدة أخرى, فإن فيه سفك الدماء, ويتم الأولاد, وتأيم النساء

“Dahulu kaum mukminin di masa permulaan Islam saat di kota Makkah diperintahkan untuk shalat dan zakat, walaupun tanpa batasan tertentu. Mereka diperintahkan untuk melindungi orang-orang faqir, diperintahkan untuk memaafkan, dan membiarkan kaum musyrikin, serta sabar (atas kedhaliman mereka) hingga batas waktu yang ditentukan. Padahal semangat mereka sangat membara dan senang seandainya mereka diperintahkan berperang melawan musuh-musuh mereka. Akan tetapi, kondisi saat itu tidak memungkinkan karena beberapa sebab. Diantaranya adalah : minimnya jumlah mereka dibandingkan banyaknya jumlah musuh-musuh mereka, serta keberadaan mereka yang masih berada di kota mereka sendiri, yaitu tanah haram dan tempat yang paling mulia. Sehingga belum pernah terjadi peperangan sebelumnya di tempat itu, sebagaimana dikatakan : ’Oleh karena itu, tidak diperintahkan jihad kecuali di Madinah ketika mereka memiliki negeri, benteng, dan dukungan’……” [Tafsir Ibnu Katsiir , 2/359].

Baru kemudian setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madiinah serta mendapatkan dukungan dan kekuatan, maka beliau menegakkan berbagai macam huduud terhadap semua bentuk pelanggaran, termasuk melakukan pembunuhan terhadap Ka’b Al-Asyraf yang melakukan penghinaan terhadap beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[1]

Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengambil analog untuk setiap situasi dan kondisi kaum muslimin yang masih lemah – sebagaimana keadaan kaum muslimin di fase awal perkembangan Islam – disyari’atkannya untuk bersabar dan tidak melakukan perlawanan. Beliau rahimahullah berkata:

فمن كان من المؤمنين بأرض هو فيها مستضعف أو في وقت هو فيه مستضعف فليعمل بآية الصبر والصفح عمن يؤذي الله ورسوله من الذين أوتوا الكتاب والمشركين وأما أهل القوة فإنما يعملون بآية قتال أئمة الكفر الذين يطعنون في الدين وبآية قتال الذين أوتوا الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون

“Barangsiapa dari kalangan orang-orang yang beriman (mukminin) yang tinggal di bumi dimana mereka dalam keadaan lemah atau dalam satu waktu dimana kondisi mereka lemah, maka hendaklah ia mengamalkan ayat-ayat sabar dan menahan diri dari orang-orang yang menyakiti[2] Allah dan Rasul-Nya dari kalangan Ahli Kitab dan kaum musyrikin. Adapun bagi mereka yang mempunyai kekuatan, maka hendaknya ia mengamalkan ayat-ayat (yang memerintahkan) berperang melawan pentolan-pentolan orang-orang kafir dan Ahli Kitab yang menghina agama (Islam) hingga mereka membayar jizyah dengan penuh ketundukan dan kerendahan” [Ash-Shaarimul-Maslul ’alaa Syaatimir-Rasuul, hal. 221].

Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan sebab kenapa harus bersabar tidak menegakkan huduud bagi mereka (orang kafir) yang menghina/mencela beliau:

لأن إقامة الحدود عليهم كان يفضي إلى فتنة عظيمة ومفسدة أعظم من مفسدة الصبر على كلاماتهم.

“Dikarenakan penegakan huduud (hukuman) terhadap mereka (orang-orang kafir) akan menyebabkan fitnah yang sangat besar dan mafsadat yang lebih besar daripada mafsadat yang ditimbulkan jika bersabar atas perkataan mereka” [idem, hal. 223].

Pasca serangan ke kantor media Charlie Hebdo:

  1. Timbul serangan balasan kepada kaum muslimin berupa penembakan, pemboman, pembakaran, maupun kekerasa fisik lainnya.

Silakan baca : Dailymail.co.uk, Huffingtonpost.com dan Vox.com.

  1. Charlie Hebdo akan menerbitkan 1 juta eksemplar dari semula hanya 30 ribu eksemplar.

Silakan baca : Theverge.com.

  1. Timbul inisiatif mereproduksi karikatur Charlie Hebdo atau membuat karikatur sejenis yang menghina Islam dan kaum muslimin.

Silakan baca : Hoodedutilitarian.com.

  1. Timbul gerakan ‘solidaritas orang-orang kafir di berbagai tempat/negara.

Silakan baca : Irishtimes.com dan News.yahoo.com.

  1. Adanya kemungkinan naiknya gerakan Islamophobia.

Silakan baca : Radioelnury.com.

  1. dan yang lainnya.

Apakah penyerangan tersebut menimbulkan maslahat yang besar bagi kaum muslimin di Perancis dan dakwah Islam yang sedang mereka emban dibanding mafsadat yang sekarang sudah timbul dan akan diperkirakan timbul?. Apakah mereka yang minoritas mesti terus kita provokasi agar kembali melakukan serangan atau pembunuhan serupa pada setiap orang kafir yang menghina Allah, Nabi, Islam, dan kaum muslimin di sana?.

Dari sinilah kita mengetahui akurasi fatwa Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah jika diterapkan dalam permasalahan ini. Inilah fatwa ulama, berbeda dengan fatwa kaum emosional yang senantiasa mengedepankan kemarahan dan provokasi. Ini bukan soal tidak sependapat dengan kekufuran perbuatan penghinaan terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan konsekuensi hukum bunuh bagi pelakunya, akan tetapi ketidaksetujuan terhadap perbuatan yang dilakukan bukan pada waktu dan kondisi yang tepat sehingga dapat menimbulkan mafsadat yang lebih besar bagi kaum muslimin.

Wallaahul-musta’aan.

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 12012014 – 03:20]

Artikel terkait : Menghina Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

 

 

[1]      Silakan baca artikel : Pembunuhan Terencana.

[2]      Berupa hinaan, cacian, dan intimidasi.