Mencontoh Semangat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dalam Mengamalkan Sunnah

Disebutkan dalam riwayat:
عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يُزَاحِمُ عَلَى الرُّكْنَيْنِ زِحَامًا مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ يَفْعَلُهُ. فَقُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّكَ تُزَاحِمُ عَلَى الرُّكْنَيْنِ زِحَامًا مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ يُزَاحِمُ عَلَيْهِ، فَقَالَ: إِنْ أَفْعَلْ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: ” إِنَّ مَسْحَهُمَا كَفَّارَةٌ لِلْخَطَايَا “، وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: ” مَنْ طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ أُسْبُوعًا فَأَحْصَاهُ، كَانَ كَعِتْقِ رَقَبَةٍ “، وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: لَا يَضَعُ قَدَمًا وَلَا يَرْفَعُ أُخْرَى إِلَّا حَطَّ اللَّهُ عَنْهُ خَطِيئَةً، وَكَتَبَ لَهُ بِهَا حَسَنَةً
Dari ‘Ubaid bin ‘Umair : Bahwasannya Ibnu ‘Umar berdesak-desakan untuk mencapai dua rukun (Hajar Aswad dan Rukun Yamani), sesuatu yang tidak aku lihat seorang sahabat Nabi pun melakukannya (seperti dirinya). Aku katakan : “Wahai Abu ‘Abdirrahmaan, sesungguhnya engkau rela berdesak-desakan untuk mencapai dua rukun. Aku tidak melihat seorang sahabat Nabi pun berdesak-desakan untuk mencapainya (seperti dirimu)”. Maka ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Jika itu aku lakukan, maka aku tidak dicela karena aku mendengar Rasulullah bersabda : ‘Sesungguhnya mengusap keduanya dapat menjadi penghapus dosa-dosa’. Aku juga mendengar beliau bersabda : ‘Barangsiapa yang melakukan thawaf di Ka’bah sebanyak tujuh kali dan menyempurnakannya, nilainya seperti membebaskan budak’. Dan akupun mendengar beliau bersabda : ‘Tidaklah seseorang melangkahkan kakinya (untuk melaksanakan thawaf), melainkan Allah akan hapus dosanya dan akan ditulis baginya kebaikan” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 959; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/491].

‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhu termasuk diantara sahabat yang paling bersemangat dalam mencontoh Nabi . Bahkan ia sangat semangat mengikuti beliau pada hal-hal yang mubah lagi tidak wajib dilakukan, seperti misal ia (Ibnu ‘Umar) istirahat di bawah pohon yang terletak antara Makkah dan Madinah hanya karena beliau pernah melakukannya[1]. Ia juga pernah menyimpang jalan tidak melewati satu tempat, sebabnya semata-mata hanya karena melihat Nabi melakukannya[2].
Apalagi pada hal-hal yang disyari’atkan yang padanya ada keutamaan dari sudut pandang diin (agama), Ibnu ‘Umar tentu lebih bersemangat lagi – sebagaimana hadits di atas. Ibnu ‘Umar merelakan dirinya berdesak-desakan karena bersemangat melakukan sunnah yang diajarkan Nabinya dalam mengusap Rukun Yamaniy dan Hajar Aswad[3]. Bahkan dalam satu riwayat, hingga hidungnya berdarah !
أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ طَلْحَةَ، قَالَ: سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ، عَنِ الزِّحَامِ عَلَى الرُّكْنِ، فَقَالَ: زَاحِمْ يَا ابْنَ أَخِي فَقَدْ رَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يُزَاحِمُ حَتَّى يَدْمَى أَنْفُهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Thalhah bin Ishaaq bin Thalhah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Al-Qaasim bin Muhammad tentang berdesak-desakan untuk mencapai rukun. Maka ia menjawab : “Berdesak-desakanlah wahai anak saudaraku. Sungguh aku melihat ‘Abdullah bin ‘Umar berdesak-desakan (untuk mencapai rukun) hingga hidungnya berdarah” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 8907, sanadnya hasan. Penyebutan Thalhah bin Ishaaq di sini keliru, karena yang benar Thalhah bin Yahyaa bin Thalhah – syaikh Ibnu ‘Uyainah – sebagaimana diriwayatkan Al-Faakihiy dalam Akhbar Makkah, Al-Azraqiy dalam Akhbar Makkah, dan Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj].
Padahal kondisi penuh sesak yang tidak memungkinkan/susah bagi kita untuk mencapainya, merupakan udzur yang membolehkan kita berisyarat kepadanya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قال: طَافَ النَّبِيُّ ﷺ بالبيت عَلَى بَعِيرٍ، كُلَّمَا أَتَى عَلَى الرُّكْنِ أَشَارَ إِلَيْهِ
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Nabi thawaf di Ka’bah dengan menunggangi ontanya. Setiap kali melewati rukun (Hajar Aswad)[4], beliau berisyarat kepadanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1612].
Apa yang dicintai untuk dirinya, Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaamemberikan nasihat serupa kepada orang lain. Ada riwayat menarik sebagai berikut:
عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ عَرَبِيٍّ، قال: سَأَلَ رَجُلٌ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ اسْتِلَامِ الْحَجَرِ، فَقَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَسْتَلِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ، قَالَ: قُلْتُ: أَرَأَيْتَ إِنْ زُحِمْتُ، أَرَأَيْتَ إِنْ غُلِبْتُ، قَالَ: اجْعَلْ أَرَأَيْتَ بِالْيَمَنِ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَسْتَلِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ
Dari Az-Zubair bin ‘Arabiy, ia berkata : Ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tentang menyentuh Hajar Aswad. Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Aku melihat Rasulullah menyentuhnya dan juga menciumnya”. Aku berkata : “Bagaimana pendapatmu jika kondisinya berdesak-desakan dan aku susah untuk mencapainya?”. Ibnu ‘Umar berkata : “Tinggalkan perkataanmu ‘bagaimana pendapatmu’ ke Yaman. Aku melihat Rasulullah menyentuhnya dan menciumnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1611].
Perkataan Ibnu ‘Umar ‘ij’al ara-aita bil-Yaman[5]diucapkan karena ia memahami orang itu hanyalah sekedar menolak hadits dengan (perandaian) pendapat/pikirannya. Ibnu ‘Umar lalu mengingkarinya dan memerintahkan kepada orang tersebut apabila mendengar hadits hendaknya ia ambil dan ia tinggalkan pendapatnya [lihat : Fathul-Baariy, 3/476]. Atau, perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tersebut maksudnya dorongan agar tidak merasa lemah atau sulit pada sesuatu yang belum terjadi/dilakukan; karena semua itu hanya akan melemahkan tekad dalam ittbaa’ (kepada sunnah Nabi ) [Al-Waafiy fii Syarh Al-Arba’iin An-Nawawiyyah, hal. 72].
Seandainya kita belum bisa seperti Ibnu ‘Umar – dan bahkan mungkin tidak akan bisa seperti dirinya –, kita dapat meneladani spirit/semangatnya dalam mengamalkan sunnah Rasulullah .
Dan begitulah kondisi umum para shahabat Nabi yang lain. Mereka senantiasa berlomba-lomba dalam melaksanakan sunnah Nabi . Contoh:
1.    Berlomba-lomba dalam bershadaqah
عَنْ أَسْلَمَ، قَال: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ نَتَصَدَّقَ فَوَافَقَ ذَلِكَ عِنْدِي مَالًا، فَقُلْتُ: الْيَوْمَ أَسْبِقُ أَبَا بَكْرٍ إِنْ سَبَقْتُهُ يَوْمًا، قَالَ: فَجِئْتُ بِنِصْفِ مَالِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: ” مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ؟ “، قُلْتُ: مِثْلَهُ، وَأَتَى أَبُو بَكْرٍ بِكُلِّ مَا عِنْدَهُ، فَقَالَ: ” يَا أَبَا بَكْرٍ مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ؟ “، قَالَ: أَبْقَيْتُ لَهُمُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، قُلْتُ: وَاللَّهِ لَا أَسْبِقُهُ إِلَى شَيْءٍ أَبَدًا
Dari Aslam, ia berkata : Aku mendengar ‘Umar bin Al-Khaththaab berkata : “Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk bersedekah. Ternyata bertepatan aku memiliki harta (untuk dishadaqahkan). Aku berkata : ‘Hari ini aku akan mengalahkan Abu Bakr jika aku mendahuluinya hari ini’. Maka aku pun pergi dengan membawa setengah hartaku. Rasulullah bersabda : ‘Apa yang kamu sisakan untuk keluargamu?’. Aku jawab : ‘Sebanyak yang aku shadaqahkan ini’. Datanglah Abu Bakr dengan semua harta yang dimilikinya. Beliau bersabda : ‘Wahai Abu Bakar, apa yang kamu sisakan untuk keluargamu?’. Ia menjawab : ‘Aku sisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.’ Demi Allah, aku tidak akan mampu mendahuluinya (Abu Bakr) dalam apapun selamanya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3675, dan ia berkata : “Ini adalah hadits hasan shahih”].
Hal yang sama dengan para sahabiyyat radliyallaahu ‘anhunn. Saat dinasihati Rasulullah agar bershadaqah (karena beliau melihat kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita), maka mereka berlomba-lomba memberikan perhiasan yang kebetulan mereka kenakan.
قَالَ: َجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ، يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Jaabir berkata : “Maka mereka dengan segera bershadaqah dengan perhiasan mereka, dengan melemparkan ke kain Bilal, berupa anting-anting dan cincin mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 885].
Sungguh kontras dengan kondisi sebagian umat yang rakus harta, dimana mereka malah berlomba-lomba dalam menahannya.
2.    Berlomba-lomba dalam meluruskan dan merapatkan shaff tanpa membiarkan ada celah.
عَنْ أَنَسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بَعْدَ أَنْ أُقِيمَتِ الصَّلاةُ قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ أَقْبَلَ بِوَجْهِهِ عَلَى الصَّحَابَةِ، فَقَالَ: ” سَوُّوا صُفُوفَكُمْ ؛ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي “. فَلَقَدْ يَتَبَارَى الرَّجُلُ بِلَزْقِ مَنْكِبِهِ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ إِذَا قَامَ فِي الصَّلاةِ.
Dari Anas : Bahwasannya setelah iqamat dikumandangkan, sebelum bertakbir (memulai shalat) Rasulullah menghadap para shahabat (makmum), lalu bersabda : “Luruskan shaff-shaff kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari balik punggungku”. Dan sungguh, (setelah mendengarnya) seorang laki-laki berlomba-lomba menempelkan pundaknya ke pundak temannya apabila berdiri dalam shalat berjama’ah [Diriwayatkan oleh Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy no. 40; shahih].
Berbeda dengan kondisi sebagian orang zaman sekarang. Ketika ada yang masih lowong di shaff pertama, orang-orang yang ada di shaff kedua bukannya berlomba-lomba untuk menempatinya, namun malah ‘saling mempersilakan’ orang lain untuk menempatinya. Sebagian lain, ada yang penuh keluh kesah jika ada yang menempelkan pundak dan kakinya karena merasa terganggu karenanya. Muncul kemudian ungkapan dari sebagian orang bodoh : “Salam tempel’ – kepada orang yang hendak menempelkan bahu dan telapak kakinya karena hendak mengamalkan apa yang diamalkan para sahabat saat bermakmum di belakang Nabi .
3.    Berlomba-lomba mencari sutrah shalat.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: ” لَقَدْ رَأَيْتُ كِبَارَ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ يَبْتَدِرُونَ السَّوَارِيَ عِنْدَ الْمَغْرِبِ “
Dari Anas bin Maalik : “Sungguh aku melihat para pembesar shahabat Nabi saling berlomba untuk mendapatkan tiang masjid (sebagai sutrah) ketika waktu maghrib (untuk melaksanakan shalat sunnah dua raka’at sebelum maghrib – Abul-Jauzaa’)[6]” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 503].
Sebagian orang zaman sekarang malas/tidak mengamalkannya hanya karena alasan klise ‘tidak wajib, menurut jumhur ulama !’. Kebanyakan yang lain, tidak tahu syari’at sutrah dalam shalat.
4.    Berlomba-lomba dalam membebaskan budak.
Ketika Rasulullah menikahi Juwairiyyah radliyallaahu ‘anhaa, maka para shahabat saling berlomba dalam memerdekakan tawanan wanita dari kaumnya, yaitu Bani Musthaliq. Dengan pernikahan tersebut, Bani Musthaliq menjadi besan Rasulullah .
أُعْتِقَ فِي سَبَبِهَا مِائَةُ أَهْلِ بَيْتٍ مِنْ بَنِي الْمُصْطَلِقِ
“Telah dibebaskan seratus orang tawanan keluarga Bani Al-Mushthaliq dengan sebab dirinya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3931; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 2/480-481].
5.    Dan lain-lain.
Hendaknya kita berlomba-lomba dalam mengikuti sunnah. Seandainya kita belum melakukannya, jangan berusaha untuk menggembosinya, menurunkan semangat orang yang melakukannya. Dan seandainya hukum suatu amalan ada dua pendapat yang beredar padanya, yaitu wajib dan tidak wajib atau sunnah dan bukan sunnah; ketika kita mengatakan tidak wajib atau bukan sunnah dan kemudian tidak melakukannya, maka sangat tidak layak kita mengajak orang lain tidak melakukan amalan tersebut seperti kita. Tidak wajib atau tidak sunnah, bukan berarti harus meninggalkan amalan. Apalagi orang yang mendasari amalannya tersebut dengan niat untuk ittbaa’pada Nabi , bukan amalan bid’ah. Justru kita perlu mendorong mereka untuk mengerjakannya.
Semoga Allah ta’ala senantiasa memberikan petunjuk bagi kita semua.
Semoga ada manfaatnya, wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – 22 Ramadlaan 1439].


[1]    Riwayatnya adalah:
عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَر ، أَنَّهُ كَانَ يَأْتِي شَجَرَةً بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ، فَيَقِيلُ تَحْتَهَا، وَيُخْبِرُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ.
Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia menghampiri sebuah pohon antara Makkah dan Madiinah, kemudian ia berbaring istirahat di bawahnya. Lalu ia mengkhabarkan bahwa Nabi dulu pernah melakukannya [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 129 dan Al-Bahr no. 5908; sanadnya hasan].
[2]    Riwayatnya adalah:
عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ ابْنِ عُمَرَ فِي سَفَرٍ، فَمَرَّ بِمَكَانٍ، فَحَادَ عَنْهُ، فَسُئِلَ لِمَ فَعَلْتَ؟ فَقَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَعَلَ هَذَا، فَفَعَلْتُ
Dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Umar; ia (Mujaahid) berkata : “Kami pernah bersama Ibnu ‘Umar dalam safar. Lalu kami melintasi sebuah tempat, dan kemudian ia menghindar/menyimpang darinya. Ditanyakan kepadanya : “Mengapa engkau melakukannya ?”. Ia menjawab : “(Karena) aku melihat Rasulullah melakukanya, sehingga aku melakukannya juga” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/32; shahih].
[3]    Disyari’atkan untuk mencium atau mengusap Hajar Aswad. Adapun Rukun Yamaniy, tidak disyari’atkan untuk menciumnya, namun hanya mengusapnya saja.
[4]    Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahulah berkata:
ويستلم الركن اليماني بيده في كل طوافة ، ولا يقبله ، فإن لم يتمكن من استلامه لم تشرع الإشارة إليه بيده
“Dan (disyari’atkan) mengusap Rukun Yamaniy dengan tangan untuk setiap kali thawaf tanpa menciumnya. Apabila tidak memungkinkan untuk mengusapnya, maka tidak disyari’atkan berisyarat tangan kepadanya” [Manaasikul-Hajj wal-‘Umrah, hal. 22].
[5]    Al-Haafidh rahimahullah menjelaskan bahwa perkataan itu diucapkan Ibnu ‘Umar karena orang  yang bertanya kepadanya adalah seorang Yamaniy (penduduk negeri Yaman).
[6]    Fathul-Baariy oleh Ibnu Rajab, 4/240 – via Syaamilah.

Baca selengkapnya