Firqah Sesat

Dalam sebuah hadits disebutkan:
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu (yang masuk surga)”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641, Al-Haakim 1/218-219, Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ hal. 85, Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/127-128 no. 23-24, dan yang lainnya].

Dalam hadits di atas disebutkan tentang keberadaan 72 golongan/kelompok sesat lagi celaka sebagai opposite golongan yang selamat (al-firqatun-najiyyah). Banyak ulama menjelaskan tentang 72 golongan ini. Diantaranya Asy-Syaathibiy rahimahullah yang berkata:
وهي مسألة – كما قال الطرطوشي – طاشت فيها أحلام الخلق ، فكثير ممن تقدم وتأخر من العلماء عينوها، لكن في الطوائف التي خالفت في مسائل العقائد فمنهم من عد أصولها ثمانية ، فقال : كبار الفرق الإسلامية ثمانية : ( 1 ) المعتزلة و ( 2 ) الشيعة ، و ( 3 ) الخوارج ، و ( 4 ) المرجئة ، و ( 5 ) النجارية ، و ( 6 ) الجبرية و ( 7 ) المشبهة ، و ( 8 ) الناجية.
Sebagaimana dikatakan Ath-Thurthuusyiy, hal itu adalah permasalahan yang banyak orang keliru padanya. Banyak ulama dahulu maupun sekarang yang telah menentukan golongan/kelompok tersebut, akan tetapi sebatas kelompok-kelompok yang menyimpang dalam permasalahan-permasalahan ‘aqidah. Diantara mereka ada yang menghitung pokok golongan/kelompok tersebut berjumlah delapan. Ia katakan : ‘Gembong kelompok-kelompok Islam (yang menyimpang) berjumlah delapan, yaitu Mu’tazilah, Syii’ah, Khawaarij, Murji’ah, Najjaariyyah, Jabriyyah, Musyabbihah, dan Naajiyyah” [Al-I’tishaam, 3/185].
Yuusuf bin Asbath rahimahullah berkata:
أُصُولُ الْبِدَعِ أَرْبَعٌ: الرَّوَافِضُ، وَالْخَوَارِجُ، وَالْقَدَرِيَّةُ، وَالْمُرْجِئَةُ، ثُمَّ تَتَشَعَّبُ كُلُّ فِرْقَةٍ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ طَائِفَةً، فَتِلْكَ اثْنَتَانِ وَسَبْعُونَ فِرْقَةً، وَالثَّالِثَةُ وَالسَّبْعُونَ الْجَمَاعَةُ الَّتِي قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: إِنَّهَا النَّاجِيَةُ
“Pokok-pokok kebid’ahan ada 4 (empat), yaitu Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah, dan Murji’ah. Kemudian masing-masing firqah tersebut bercabang-cabang lagi menjadi 18 golongan sehingga totalnya menjadi 72 firqah. Dan yang ke-73 adalah Al-Jamaa’ah yang disabdakan Nabi : ‘Inilah firqah/kelompok yang selamat” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no. 17].
Senada dengan hal di atas adalah penjelasan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
الْبِدْعَةُ الَّتِي يُعَدُّ بِهَا الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ مَا اشْتَهَرَ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالسُّنَّةِ مُخَالَفَتُهَا لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ: كَبِدْعَةِ الْخَوَارِجِ، وَالرَّوَافِضِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَالْمُرْجِئَةِ
“Bid’ah yang menyebabkan pelakunya terhitung sebagai pengikut hawa nafsu adalah bid’ah yang terkenal di kalangan ulama Ahlus-Sunnah yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah (secara jelas), seperti bid’ah Khawaarij, Rafidlah, Qadariyyah, dan Murji’ah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 35/414].
Kembali Asy-Syaathibiy rahimahullah menjelaskan:
هذه الفرق إنما تصير فرقا بخلافها للفرقة الناجية في معنى كلي في الدين وقاعدة من قواعد الشريعة ، لا في جزئي من الجزئيات ، إذ الجزئي والفرع الشاذ لا ينشأ عنه مخالفة يقع بسببها التفرق شيعا ، وإنما ينشأ التفرق عند وقوع المخالفة في الأمور الكلية ، لأن الكليات تقتضي عددا من الجزئيات غير قليل
“Kelompok-kelompok ini hanyalah menjadi kelompok (yang sesat) dengan sebab penyelisihannya terhadap al-firqatun-naajiyyah dalam makna yang kulliy dalam (pokok-pokok) agama dan kaedah-kaedah syari’at. Bukan dalam permasalahan yang juz’iy (parsial). Karena permasalahan juz’iy dan cabang yang menyimpang tidaklah menimbulkan penyimpangan yang menyebabkan perpecahan. Perpecahan hanya timbul akibat terjadinya menyimpangan dalam perkara-perkara kulliyyah (pokok), karena perkara kulliyyah mengharuskan adanya perkara-perkara juz’iyyahyang tidak sedikit” [Al-I’tishaam, 3/177].
Tujuhpuluh dua golongan/kelompok yang gagal beragama dengan benar (alias sesat) ini adalah kelompok yang menyimpang dalam perkara pokok dan/atau masuk dalam ranah ‘aqiidah[1]. Oleh karena itu jika kita membaca kitab-kitab para ulama terdahulu yang membahas manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah, maka yang mereka tetapkan adalah perkara ushuuluddiin (pokok-pokok agama) dan ‘aqiidah kesepakatan umat. Diantaranya:
1.    Abu Haatim Ar-Raaziy dan Abu Zur’ah Ar-Raaziy, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim rahimahumullah:
سَأَلْتُ أَبِي وَأَبَا زُرْعَةَ عَنْ مَذَاهِبِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي أُصُولِ الدِّينِ، وَمَا أَدْرَكَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ، وَمَا يَعْتَقِدَانِ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالا: أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ…..
Aku pernah bertanya kepada ayahku (Abu Haatim Ar-Raaziy) dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus-Sunnah dalam Ushuuluddiin (pokok-pokok agama), serta apa yang mereka dapatkan dari para ulama yang mereka jumpai di berbagai kota dan apa yang mereka yakini tentang hal tersebut. Mereka berdua berkata : “Kami telah berjumpa dengan para ulama di seluruh kota baik di Hijaaz, ‘Iraaq, Syam, dan Yaman, maka diantara madzhab yang mereka anut adalah …… (lalu disebutkan permasalahan ushuuludiin yang dimaksud)” [Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, 1/176-180 no. 321-322].
2.    Al-Muzanniy rahimahullah (w. 264 H) setelah memaparkan ‘aqidah Ahlus-Sunnah berkata:
هذه مقالات وأفعال اجتمع عليها الماضون الأولون من أئمة الهدى، وبتوفيق الله اعتصم بها التابعون قدوة ورضى، وجانبوا التكلف فيما كفوا، فَسُدِّدوا بعون الله وَوُفِّقوا، ولم يرغبوا عن الاتباع فيقصروا، ولم يتجاوزوه تزّيداً فيعتدوا، فنحن بالله واثقون، وعليه متوكلون، وإليه في اتباع آثارهم راغبون
“Perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan ini merupakan kesepakatan para ulama generasi awal dulu, dan – dengan taufiq Allah – yang dipegang oleh orang-orang setelahnya yang menjadi teladan dan diridlai. Mereka meninggalkan sikap takalluf (memperberat diri) terhadap perkara yang tidak dilakukan (salaf), sehingga mereka dikokohkan dan diberikan taufiq dengan pertolongan Allah. Mereka juga tidak membenci sikap ittibaa’hingga mereka mengurang-ngurangi (apa yang seharusnya) dan menambah-nambahi. Hanya kepada Allah kami percaya dan bertawakkal, dan hanya kepada Allah kami berharap untuk dapat mengikuti jejak mereka (salaf)” [Syarhus-Sunnah, hal. 88].
3.    Harb bin Ismaa’iil Al-Kirmaaniy rahimahumallah (w. 280 H) berkata ketika memaparkan madzhab/‘aqidah para imam Ahlus-Sunnah:
هذا مذهب أئمة العلم وأصحاب الأثر وأهل السنة المعروفين بها المقتدى بهم فيها: وأدركت من أدركت من علماء أهل العراق والحجاز والشام وغيرهم عليها، فمن خالف شيئا من هذه المذاهب، أو طعن فيها، أو عاب قائلها، فهو مبتدع، خارج عن الجماعة، زائل عن منهج السنة وسبيل الحق
“Ini adalah madzhab para imam, ashhaabul-atsar, dan ahlus-sunnah yang dikenal dan diteladani. Dan aku telah bertemu dengan para ulama penduduk ‘Iraaq, Hijaaz, Syaam, dan yang lainnya yang mereka itu semua berada di atas (madzhab itu). Barangsiapa yang menyelisihinya dari madzhab ini atau menghujatnya atau mencela orang yang mengatakannya; maka ia adalah mubtadi’ keluar dari jama’ah, serta menyimpang dari manhaj sunnah dan jalan yang benar” [As-Sunnah, hal. 34].
4.    Dan yang lainnya.
Benar, ada beberapa perkara ‘amaliyyah yang dapat dikatakan sebagai ciri Ahlus-Sunnah, seperti misal mengusap dua khuff.
Sahl bin ‘Abdillah At-Tustariy rahimahullah pernah ditanya tentang kapan seseorang mengetahui dirinya di atas (manhaj) Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah, maka ia menjawab:
إِذَا عَرَفَ مِنْ نَفْسِهِ عَشْرَ خِصَالٍ: لا يَتْرُكُ الْجَمَاعَةَ، وَلا يَسُبُّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ ﷺ وَلا يَخْرُجُ عَلَى هَذِهِ الأُمَّةِ بِالسَّيْفِ، وَلا يُكَذِّبُ بِالْقَدَرِ، وَلا يَشُكُّ فِي الإِيمَانِ، وَلا يُمَارِي فِي الدِّينِ، وَلا يَتْرُكُ الصَّلاةَ عَلَى مَنْ يَمُوتُ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِالذَّنْبِ، وَلا يَتْرُكُ الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَلا يَتْرُكُ الْجَمَاعَةَ خَلْفَ كُلِّ وَالٍ جَارَ أَوْ عَدَلَ
“Apabila ia mengenal dirinya 10 perkara/karakteristik, yaitu tidak meninggalkan jama’ah, tidak mencaci shahabat Nabi , tidak melakukan pemberontakan terhadap umat ini dengan senjata/pedang, tidak mendustakan takdir, tidak ragu dalam keimanan, tidak berdebat dalam masalah agama, tidak meninggalkan shalat terhadap seorang muslim yang mati dengan dosa (besar yang dilakukannya), tidak meninggalkan mengusap dua khuff, serta tidak meninggalkan (shalat) jama’ah di belakang pemimpin yang jahat maupun adil” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/182 no. 324].
Begitu juga dalam kitab-kitab ‘aqiidah yang lain (termasuk kitab aqidah yang tersebut sebelumnya). Mengapa ? Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahyaa An-Najmiy rahimahullah:
وقد أدخل المسح على الخفين في العقائد ، لأنَّ بعض المبتدعين أنكره ، وهم الخوارج ، والشيعة بحجة أنه لم يرد في القرآن ، وهو ثابتٌ عن النبي ﷺ من رواية جماعةٍ من الصحابة ، وصار إنكاره علماً على أهل البدع ، وأهل السنَّة والجماعة يثبتونه لوجود الأدلة به
“Permasalahan mengusap dua khuff beliau (Al-Barbahaariy rahimahullah) masukkan dalam ‘aqaaid karena sebagian ahli bid’ah/mubtadi’ mengingkarinya seperti Khawaarij dan Syii’ah dengan hujjah bahwa masalah itu tidak ada dalam Al-Qur’an. Padahal permasalahan itu shahih dari Nabi dari riwayat sekelompok shahabat, sehingga pengingkaran akan hal itu sebagai satu pertanda atas ahli bid’ah. Adapun Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah menetapkannya dikarenakan keberadan dalil-dalil yang medasarinya” [selesai – Irsyaadus-Saariy ilaa Taudliih Syarhis-Sunnah lil-Barbahaariy].
Jadi, (sebagian) perkara ‘amaliyyah memang ada yang masuk dalam katagori ushuulAhlus-Sunnah wal-Jama’ah dikarenakan Ahlul-Bid’ah masyhur dengan perkara kebalikannya.
Dr. Ahmad An-Najjaar hafidhahullah menjelaskan korelasi hal ini dengan yang dibahas sebelumnya:
المسائل الاعتقادية أو العملية الجليلة التي اشتهرت عند أهل العلم بالسنة موافقتها للكتاب والسنةوالإجماع، وهي تعرف (بالأصول).
فمن خالف أصلاً من الأصول التي اشتهرت موافقتها للكتاب والسنة والإجماع؛ فقد خرج عن هدي السلف الصالح ونسب إلى غيرهم.
“Permasalahan-permasalahan ‘aqidah atau amaliyyah yang agung yang terkenal menurut ulama Ahlus-Sunnah yang berkesesuaian dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’; maka itulah yang dikenal dengan pokok (ushuul).
Barangsiapa yang menyelisihi suatu pokok (ushuul) dari pokok-pokok (agama) yang dikenal berkesesuaian dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’, maka dirinya keluar dari petunjuk as-salafush-shaalih dan dinisbatkan kepada selainnya (kelompok sesat)” [Tabshiirul-Khalaf bi-Dlaabithil-Ushuuli allatii Man Khalafaa Kharaja ‘an Manhajis-Salaf, hal. 28].[2]
Dari sini kita mengetahui mengapa (sebagian) perkara ‘amaliyyah yang agung dimasukkan para ulama dalam bab ‘aqiidah dan ushuul.
Berdasarkan keterangan tersebut, apakah jika ada orang yang melafadhkan niat ketika shalat, dapat kita hukumi kesalahan (bid’ah)-nya itusebagai sebab masuk dalam kelompok sesat gagal beragama (dengan benar) di luar al-firqatun-naajiyyah?. Tentu jawabannya tidak. Apakah jika ada orang yang melakukan bid’ah berjabat tangan setelah shalat dapat kita hukumi kesalahan (bid’ah)-nya itusebagai sebab keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah ?. Tentu jawabannya tidak. Mengapa ?. Karena hal itu bukan bagian dari pokok-pokok Ahlus-Sunnah. Juga bid’ah ‘amaliyyah lain (menurut sebagian ulama) seperti qunut shubuh, zakat profesi, biji tasbih, yasinan, dan yang lainnya.
Kemudian…..
Ketika Syaikhul-Islaam membahas permasalahan mana yang lebih utama antara ‘Utsmaan dan ‘Aliy[3], beliau rahimahullah berkata:
هذه المسألة – مسألة عثمان وعلي – ليست من الأصول التي يضلل المخالف فيها عند جمهور أهل السنة لكن التي يضلل فيها مسألة الخلافة
“Permasalahan ini – yaitu permasalahan ‘Utsmaan dan ‘Aliy – bukanlah permasalahan pokok (ushuul) dimana orang yang menyelisihinya boleh untuk disesatkan menurut jumhur ulama. Akan tetapi yang disesatkan padanya adalah permasalahan khilaafah” [Majmuu’ Al-Fatawaa, 3/153].
Orang yang mengutamakan ‘Aliy dibandingkan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhumaaadalah keliru. Namun dalam masalah ini tidak boleh dikatakan sesat, karena bukan termasuk pokok (ushuul) agama yang membolehkan seseorang menyesatkan oposannya dan keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah. Perkara kemudian masalah ini diboncengi masalah khilaafah – dan biasanya ini sepaket dilakukan oleh orang Syi’ah – , lain perkara. Jika tafdliil tersebut diikuti dengan pembatalan kekhalifahan ‘Utsmaan, maka orang tersebut lebih sesat daripada keledai peliharaannya. Namun jika murni masalah tafdliil saja, tidak boleh saling menyesatkan dan mengandangkan dalam 72 golongan.
Kasus lain tentang perayaan maulid Nabi . Ini adalah bid’ah amaliyyah menurut jumhur ulama. Bid’ah ini tidak mengeluarkan pelakunya dari Ahlus-Sunnah – meski kita katakan dia salah dan berdosa atas bid’ah yang dilakukannya. Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Al-Jibriin rahimahullah berkata:
وأما البدع العملية فإنه لا يقال لصاحبها مبتدع علي الإطلاق. ولكن يقال: فيه بدعة كالذين يحيون ليلة المعراج أو المولد أو ليلة النصف من شعبان أو يصلون صلاة الرغائب و ما أشبهها من البدع العملية.
فهناك فرق بين البدع الاعتقادية فيقال لصاحبها مبتدع و البدع العملية و يقال لصاحبها فيه بدعة ولا يصدق عليه أنه مبتدع بدعة كلية. هذا هو المتبادر. والله أعلم.
“Sedangkan bid’ah dalam masalah ibadah, pelakunya sama sekali tidak bisa disebut sebagai ahli bid’ah. Akan tetapi pelakunya kita katakan bahwa pada dirinya ada kebid’ahan. Semisal orang-orang yang memperingati malam Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi, beribadah pada malam Nishfu Sya’ban, melakukan shalat Raghaib, dan bid’ah-bid’ah yang lain dalam masalah ibadah.
Jadi ada perbedaan antara bid’ah dalam masalah akidah- itulah bid’ah yang pelakunya disebut sebagai ahli bid’ah- dengan bid’ah dalam masalah ibadah. Pelaku bid’ah dalam masalah ibadah mendapat sebutan ‘ada bid’ah pada dirinya’. Pelaku bid’ah semacam ini tidak tepat jika disebut sebagai ahli bid’ah. Demikian jawaban instan yang bisa diberikan. Wallahu a’lam” [Ijabah al Sa-il ‘an Ahammi al Masa-il Ajwibah al ‘Allamah al Jibrin ‘ala As-ilah al Imarat, hal 13-14 – dikutip dari website ustadzaris.com].
Apakah maulid termasuk bagian dari pokok ushuul dalam agama ? Termasuk syi’ar-syi’ar yang membedakan antara Ahlus-Sunnah dan Ahlul-Bid’ah yang tercantum dalam kitab para ulama dulu ?. Jawabnya : Tidak.[4]
Bukankah banyak orang yang merayakan maulid disertai dengan banyak kemunkaran seperti istighatsah, doa kepada Nabi, ikhtilaath, dan perbuatan ghulluw lainnya ?.
Kalau begitu, ini namanya perayaan maulid plus. Kalau sudah plus-plus, hukumnya lain. Sama seperti kasus tafdliil sebelumnya.
Lajnah Daaimah ketika membahas rincian kemunkaran maulid, tetap membedakan antara hanya sekedar merayakannya saja dan yang merayakan plus ibadah yang lain yang isinya kesyirikan. Saya highlight khusus kalimat/perkataan yang ini:
إذا كان مجرد احتفال ، على الأكل والشرب ، والقهوة والشاي ، وليس فيه دعاء ولا استغاثة بالنبي ، فهذه بدعة منكرة
“Apabila hanya sekedar perayaan saja dengan makan, minum, ngopi dan ngeteh; namun tidak ada padanya doa dan istighatsah kepada Nabi; maka ini bid’ah munkarah (saja, bukan syirik)” [alifta.net].
Maka, penghukuman maulid pun hati-hati dan dirinci, antara sekedar perayaannya saja (sebagaimana perkataan fuqahaa yang membolehkan) atau yang paket plus-plus. Paket plus-plus dapat menyebabkan seseorang keluar dari lingkup al-firqatun-naajiyyah. Bukan karena maulidnya, tapi karena plus-plusnya.
Terakhir, kalaupun ada bantahan, silakan. Tak perlu kasih judul bombastis “Ultraman Membantah Upin dan Ipin”. Nanti dikira cari perhatian dan malah bikin gaduh. Saya tahu ada perkataan ulama kontemporer yang berbeda dengan hal di atas. No problemo.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – one thousand km from home – 30 Dzulqa’dah 1438 H].



[1]      Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah menjelaskan hal serupa:
[2]      Buku ini diberikan taqdiim oleh Asy-Syaikh Dr. Shaalih bin Sa’d As-Suhaimiy dan Asy-Syaikh Dr. Sulaimaan Ar-Ruhailiy hafidhahumallah. Sangat direkomendasikan untuk dibaca dalam masalah keluar-masuk pintu Ahlus-Sunnah.
[3]      Jumhur ulama berpendapat bahwa ‘Aliy lebih utama daripada ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhumaa.
[4]      Diantara ulama madzhab yang membolehkan maulid adalah Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy, Ibnul-Jazariy, Ibnu Hajar Al-Haitamiy, Ibnush-Shalah, Abu Syammaah Al-Maqdisiy, Ibnul-Hajj Al-Malikiy, As-Suyuuthiy, dan yang lainnya rahimahumullah.
Mereka membolehkan maulid dengan melakukan amal-amal kebaikan, menampakkan kegembiraan, bershadaqah, bersyukur, dan yang lainnya di hari itu.
(-) : Ente kok malah nyebutin khilaf ulama segala. Khilaf itu bukan dalil !! Dalil itu adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’ !!!
(+) : Saya sepakat dengan Anda bahwa maulid itu bid’ah yang terlarang dalam agama. Clear bagi saya. Di sini saya hanya ingin mendudukkan realitas saja, apakah maulid itu merupakan perkara pokok ataukah cabang, perkara kulliy ataukah juz’iy, sehingga kita dapat menghukumi dengan akurat. 

Baca selengkapnya