Apa itu Rukhshah?

Pengertian Rukhshah

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Kalimat ini sering kita dengar terutama ketika membahas bab fiqh ibadah. Lalu bagaimana hakekat rukhshah?

Berikut kutipan keterangan mengenai rukhshah yang kami simpulkan dari kitab Taisir Ilmi Ushul al-Fiqh, Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Juada’i.

Rukhshah [الرُّخصةُ] secara bahasa artinya ringan dan mudah. Sementara rukhshah secara istilah adalah

اسمٌ لِما شُرعَ متعلِّقًا بالعوارضِ خارجًا في وصفِهِ عن أصلهِ بالعُذْرِ

Istilah untuk sesuatu yang disyariatkan yang berkaitan dengan kondisi di luar sifat aslinya karena adanya udzur.

Untuk memahami definisi di atas, anda bisa perhatikan contoh berikut,

“Menjamak shalat karena udzur safar atau hujan.”

Jamak shalat termasuk sesuatu yang disyariatkan dalam islam, ketika terjadi kondisi tertentu.

Sifat asli shalat adalah dikerjakan pada waktu yang ditentukan. Namun ketika jamak, shalat itu boleh dikerjakan di luar waktunya, baik didahulukan seperti jamak taqdim, maupun ditunda seperti jamak ta’khir.

Sementara safar dan hujan merupakan udzur yang menjadi alasan untuk mengeluarkan aturan shalat dari sifat aslinya.

Contoh lain,

“Qashar shalat dzuhur bagi musafir”

Qashar termasuk istilah syar’i, yang dibolehkan ketika kondisi tertentu, yaitu safar.

Sifat asli shalat dzuhur adalah dikerjakan 4 rakaat. Namun karena alasan safar, shalat ini dikerjakan 2 rakaat, sehingga dia dikerjakan di luar sifat aslinya.

Sementara safar adalah udzur yang membolehkan melakukan qashar.

Rukhshah vs Azimah

Lawan dari rukhshah adalah azimah [العزيمَة].

Karena dia berkebalikan, azimah berarti hukum asal dari syariat yang Allah berikan kepada mukallaf.

Sedangkan rukhshah berarti kondisi yang keluar dari hukum asal disebabkan adanya udzur.

Artinya adanya rukhshah disebabkan ada udzur. Karena itu, rukhshah akan bertahan selama udzur masih ada. Sebaliknya, rukhshah dianggap tidak ada ketika udzur sudah tidak ada.

Sebab-Sebab Adanya Rukhshah

Rukhshah dalam syariat islam kembali kepada 7 sebab:

[1] Kondisi lemah yang dimiliki makhluk

Ini menjadi sebab digugurkannya kewajiban beban syariat (taklif) untuk anak kecil dan orang gila. Kondisi ini juga menjadi sebab diringankannya kewajiban beban syariat (taklif) untuk wanita, sehingga mereka tidak diwajibkan jumatan, shalat jamaah, atau berjihad.

[2] Sakit

Merupakan sebab dibolehkannya tidak puasa ketika ramadhan, mengambil posisi duduk ketika shalat wajib, atau menggunakan obat yang hukum asalnya terlarang, karena tidak ada pilihan yang lain.

[3] Safar

Merupakan sebab dibolehkannya tidak puasa ketika ramadhan, qashar shalat 4 rakaat, tidakw ajib jumatan, serta tambahan batas waktu bolehnya mengusap khuf ketika wudhu [1].

[4] Lupa

Merupakan sebab gugurnya dosa dan hukuman akhirat ketika seorang hamba melakukan kesalahan. Demikian pula, ini menjadi alasan tetap sah-nya ibadah seseorang (seperti puasa atau shalat), meskipun melanggar. Misalnya, lupa makan ketika puasa. Atau lupa tasyahud awal ketika shalat. Andai ini dilakukan dengan sengaja, tentu puasa dan shalatnya batal.

[5] Bodoh (الجـهل)

Kondisi tidak tahu (bodoh) selama itu terjadi bukan karena keteledoran (tidak mau belajar), bisa menjadi sebab gugurnya dosa dan hukuman di akhirat ketika seorang hamba melakukan kesalahan.

Orang yang melakukan akad riba karena tidak tahu, harta yang dia dapatkan selama tidak tahu, boleh dia manfaatkan. Akan tetappi, begitu dia tahu, dia tidak boleh lagi memanfaatkannya.

Seorang mujtahid yang salah dalam berijtihad, dia tetap mendapatkan pahala, sementara kesalahannya dimaafkan. Dia mendapatkan udzur karena tidak tahu kebenaran, setelah berusaha mencarinya.

[6] Paksaan (الإكراهُ)

Merupakan sebab dibolehkannya melanggar aturan yang dipaksakan kepada hamba, dalam rangka untuk menghindari ancaman yang membahayakannya.

Orang yang dipaksa untuk minum khamr, jika tidak akan dipukul kepalanya, boleh meminumnya.

Demikian pula, paksaan menggugurkan hukum perbuatan yang tidak diinginkan. Misalnya, suami dipaksa untuk menceraikan istrinya, maka cerai yang dia jatuhkan dinilai tidak sah.

[7] Kondisi umum dan meluas, yang susah untuk dihindari (عُمُومُ البلْوَى)

Keadaan yang tidak diinginkan, yang susah untuk dihindari, karena hampir terjadi di mana-mana, bisa menjadi alasan untuk dimaafkan (ditoleransi).

Orang yang mengalami salisul baul (beser), selalu keluar air kencing, dibolehkan mengerjakan shalat, sekalipun di tengah shalat keluar tetesan air kencing.

Ikhtilat (campur baur) antara lelaki dan perempuan pada asalnya dilarang. Namun ketika itu mustahil dihindari ketika thawaf, maka kondisi ini ditoleransi.

Hampir semua transaksi yang dilakukan manusia pasti ada gharar-nya (kondisi tidak jelas). Sehingga gharar yang tidak bisa dihindari, ditoleransi.

Macam-Macam Rukhshah

Bentuk rukhshah ada 3 macam:

[1] Dibolehkannya sesuatu yang haram karena dharurat

Dalam hal ini berlaku kaidah,

الضَّرُوراتُ تُبيحُ المحظُوراتِ

Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang

Misal, bolehnya mengkonsumsi bangkai atau darah atau makanan haram karena darurat.

Allah berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya..” (QS. al-Baqarah: 173)

[2] Dibolehkannya meninggalkan yang wajib

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وإذا أمرْتُكُم بأمرٍ فَأْتُوا منهُ ما استَطعتُمْ

Apabila aku perintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, kerjakanlah semampu kalian. (Muttafaq ‘alaih).

Berdiri ketika shalat wajib, hukumnya rukun shalat. Namun bagi orang yang memiliki udzur, boleh melakukannya sambil duduk karena tidak mampu.

Puasa ramadhan hukumnya wajib. Namun bagi musafir atau orang yang sakit, boleh tidak puasa karena udzur, namun diqadha di luar ramadhan.

Allah berfirman,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS. al-Baqarah: 185).

[3] Diberlakukannya sebagian akad padahal sebagian syaratnya tidak bisa dipenuhi karena udzur atau karena tidak bisa dihindari.

Misalnya, jual beli salam atau akad istishna’, hukumnya dibolehkan. Meskipun ketika akad ini dilakukan, objek belum ada, sehingga terhitung sebagai jual beli ma’dum (barang yang belum ada).

Demikian.. semoga bermanfaat

Allahu a’lam

Ket: [1] Jika tidak safar, batas waktunya sehari-semalam. Jika safar batas waktunya selama 3 hari – 3 malam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
Download Sekarang !!

Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

  • REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
  • KONFIRMASI DONASI hubungi: 087-738-394-989

Baca selengkapnya